Kamis, 11 Oktober 2012


Catatan Kecil Tentang Iman

Saya ingin memulai catatan ini dg menukil sebuah dalil dr al-Qur’an surat al-Ankabut ayat 1-3 dan surat al-Baqarah ayat 214.
”Alif lam mim. Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan, ’Kami beriman’, sedang mereka tidak diuji lagi? Dan, sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta.” (al-Ankabut: 1-3)
”Apakah kalian mengira bahwa kalian akan masuk surga, padahal belum datang kepada kalian (cobaan) sebagaimana halnya orang-orang yang terdahulu sebelum kalian? Maka ditimpa oleh malapetaka dan kesengsaraan serta diguncangkan (dengan bermacam-macam cobaan), sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya, ’Bilakah datangnya pertolongan Allah?’ Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu sangat dekat.” (al-Baqarah: 214)
Kedua dalil di atas secara garis besar bermakna bahwa Allah tidak akan membiarkan hamba-Nya yg mengaku beriman, tanpa mengujinya dg cobaan-cobaan terhadap iman tersebut seperti cobaan yg telah ditimpakan pd umat-umat terdahulu. Jadi, pesan saya untuk saya dan kita semua, SELALU BERSIAPLAH DG COBAAN ALLAH! Dan jangan takut dg cobaan Allah. Kita tentu masih ingat dg anak sekolah bukan? Jika ingin naik kelas harus menghadapi apa dulu? Ya, betul, ujian! Seperti itulah, jika kita berhasil melewati ujian atau cobaan dari Allah maka derajat kita akan dinaikkan oleh Allah.
Berikut ini saya sampaikan kisah-kisah cobaan yg dihadapi oleh umat Islam yg terjadi di masa dakwah Nabi Muhammad SAW. Para sahabat Nabi yg disiksa oleh orang-orang kafir Quraisy karena ketahuan berpindah agama dari agama nenek moyang mereka yg penuh kemusyrikan kepada agama Islam yg dibawa oleh Rasulullah SAW. Saya mulai dari paman Sayyidina Utsman bin Affan yg pernah diselubungi oleh tikar dari daun kurma, lalu diasapi dari bawahnya. Sahabat Mush’ab bin Umair ketika masuk Islam, seketika itu beliau diusir dari rumah dan tidak diberi makan oleh ibunya, padahal sebelumnya ia selalu hidup dalam kecukupan dan kemewahan, sehingga kulitnya mengelupas seperti ular yg berganti kulit.
Sahabat Bilal bin Rabbah yg saat itu menjadi budak Umayyah bin Khalaf pernah dibawa keluar selagi matahari tepat di tengah ufuk, lalu ditelentangkan di atas padang pasir Makkah. Umayyah meminta sebuah batu yg besar kemudian diletakkan di dada Bilal, seraya berkata, “Tidak demi Allah (orang kafir Quraisy sering mengucapkan sumpah atas nama Allah, tetapi mereka juga menyekutukan Allah dg ’Uzza dan berhala lain), kamu tetap seperti ini hingga kamu mati atau kamu mengingkari Muhammad dan mau menyembah Latta dan ’Uzza.” Bilal hanya mampu berucap,”Ahad, ahad….” (Allah itu satu dan tidak ada sekutu bagi-Nya). Penyiksaan itu berlanjut hingga lewatlah Sayyidina Abu Bakar ash-Shiddiq ra. lalu memerdekakannya dg membayar lima keping perak.
Ammar bin Yasir beserta ayahnya, Yasir dan ibunya, Sumayyah disiksa oleh Abu Jahal dan orang-orang kafir dg menyeret mereka ke tengah padang pasir yg panas membara, lalu menyiksa mereka. Yasir meninggal dunia dalam penyiksaan itu dg tersenyum karena memeluk iman Islam dg sempurna. Sumayyah menyusul setelah ditikam dg tombak oleh Abu Jahal. Sedangkan Ammar disiksa dg ditimpakan batu panas di dadanya dan sebagian tubuhnya di tanam ke dalam pasir yg panas membara. Menghadapi siksaan ini Ammar terpaksa mau menuruti perintah kafir Quraisy. Setelah itu dia menemui Rasulullah SAW. Sambil menangis dan minta ampun sehingga turun ayat 106 surat an-Nahl, bahwa Allah tidak murka terhadap orang yg kafir karena dipaksa sedangkan hatinya tetap beriman.
Kisah di atas adalah sebagian kecil pesona iman yg luar biasa dr para sahabat Nabi yg mungkin tidak kita temui di zaman sekarang. Cobaan yg kita hadapi mungkin berbeda, karena zaman telah berubah. Jika saya boleh menginventaris berdasarkan dari apa yg saya dengar dari pengalaman teman, cobaan yg kita hadapi sebagai kaum muda mungkin,
1.Patah hati karena diputus pacar. Siapa suruh pacaran?? Mending langsung nikah aja, lebih aman :)
2.Patah hati karena ditolak cewek atau cowok. Ni lagi, mo usaha ya…..?
3.Patah hati karena putus tunangan. Ternyata banyak juga kasus putus tunangan yg begitu memukul perasaan sekaligus iman kaum muda, ini berdasarkan curhat teman-teman yg sempat saya dengar. Kasian jg yach…. namanya juga belum jodoh.
4.Frustasi karena tidak segera ketemu jodoh.
5.Frustasi kerena sulit mencari kerja atau lama menganggur.
6.Usaha yg dirintis gagal.
7.Dan lain-lain.
Memang, pemaksaan untuk pindah kepercayaan mungkin tidak terjadi, namun kadang iman seseorang bisa begitu rapuh oleh suatu cobaan kecil dan remeh seperti yg terjadi saat ini; gagal dalam pemilu legislatif, stroke kumat lalu mati, ada juga yg pindah kediaman ke Rumah Sakit Jiwa, lalu yg lebih parah ada yg bunuh diri karena malu telah gagal menjadi anggota dewan. Na’udzubillah, Allah tidak menciptakan kita untuk menjadi penghuni neraka selamanya karena menyia-nyiakan hidup.
Sebagai penganut paham aqidah Ahlussunnah wal Jama’ah, kita mengikuti pendapat Imam Abul Hasan al-Asy’ari (260 – 234 H) dan Imam Abu Manshur al-Maturidi (wafat 333H), bahwa iman seorang muslim itu bisa bertambah dan bisa juga berkurang, sesuai dg amalnya. Untuk itulah mari kita mulai dari saat ini untuk menjaga iman kita, berusaha senantiasa meningkatkannya dg memperbanyak amal shalih, mengenal Allah dan lebih mendekatkan diri pada-Nya, lalu……………bersiap-siap menghadapi ujian dari-Nya. Percayalah, pertolongan Allah itu sangat dekat bagi orang-orang yg menjaga iman kepada-Nya, seperti keterangan di akhir surat al-Baqarah : 214.
Saling berdo’a yuk, semoga kita berhasil menghadapi ujian dg iman dalam hati yg selamat, amin.


Ahh….. Plong Rasanya (Sebuah Rasa Ikhlas)

Adalah yang saya rasakan ketika saya melakukan sesuatu atas dasar ikhlas, berbeda dengan ketika saya melakukan sesuatu dengan tidak ikhlas atau mengharapkan sesuatu dari apa yang saya lakukan. Contoh sederhana adalah ketika saya sms seseorang yang spesial dimana saya ingin dekat dengannya lewat sms tadi. Ketika sms tidak dibalas, di hati tumbuh dongkol, marah, bahkan muncul prasangka-prasangka negative, jangan-jangan ……, jangan-jangan ……. Itu karena saya tidak ikhlas. Berbeda ketika saya sms sesorang yang sama dengan maksud cuma untuk memberikan perhatian tulus, masalah dibalas atau tidak itu urusan dia. Setelah sms dikirim, meskipun tidak ada balasan, hati tetap tenang, tidak ada fikiran-fikiran negatif jangan-jangan tadi. Hati terasa plong tanpa beban, plong karena tidak menunggu hasil dari apa yang telah diberikan. Ini adalah ikhlas yang disandarkan pada manusia, bagaimana dengan ikhlas yang disandarkan pada Tuhan kita, Allah? Pasti akan membawa ketenangan hati dan jiwa yang luar biasa.
Ikhlas adalah memurnikan tujuan untuk mendekat kepada Allah dari hal yang mengotorinya. Jadi yang kita lakukan adalah murni hanya untuk mendekat kepada Allah tanpa berharap apapun selain ridho-Nya, tak peduli bagaimana penilaian orang terhadap kita. Saat kita melakukan sesuatu, terutama ibadah, dimana kita ingin ada orang yang melihat ibadah kita agar dia memuji kita, maka itui adalah perbuatan riya’. Riya’ adalah kebalikan dari ikhlas. Kita patut berhati-hati dengan sifat riya’ ini karena Rasulullah SAW. pernah bersabda bahwa riya’ itu termasuk syirik kecil atau samar, karena sesuatu yang seharusnya kita lakukan karena Allah semata, tapi dalam hati kita terbersit keinginan agar dipuji orang lain. Dengan demikian sama juga kita menempatkan posisi orang pada posisi yang seharusnya cuma Allah yang ada (yaitu tujuan utama dari ibadah), inilah letak syiriknya. Hindari juga beribadah untuk tujuan selain Allah seperti puasa untuk menurunkan berat badan, shalat malam agar tubuh menjadi lebih sehat, dll., sementara tujuan untuk memperoleh ridho Allah dinomor duakan, ini bukan semangat ikhlas.
Ada satu ucapan ulama’ salafushshalih yang sangat bertenaga tentang ikhlas ini, yaitu Syaikh As-Suusiy, beliau berkata, “Ikhlas adalah merasa tidak berbuat ikhlas. Barang siapa masih menyaksikan keikhlasan dalam ikhlasnya, maka keikhlasannya masih membutuhkan keikhlasan lagi”. Maksud beliau adalah membersihkan amal dari sifat ‘ujub (berbangga diri). ‘Ujub ini masih saudara dengan sombong. Merasa telah berbuat ikhlas dan melihat keikhlasan diri adalah ‘ujub, dan itu merupakan salah satu penyakit keikhlasan. Amal yang ikhlas adalah yang bersih dari segala jenis perusak keikhlasan.
Yhuk mari sobat, mulai sekarang kita belajar untuk ikhlas. Baik yang disandarkan kepada manusia terlebih lagi kepada Allah. Percaya dech, pujian manusia itu gak ada apa-apanya, gak penting banget, yang penting kan pujian Allah. Ikhlas saat kita beramal, dan ridho dengan apa pun hasil dari amal kita. Ini bedanya, ikhlas itu saat beramal dan ridho setelah beramal, ilmunya Aa Gym neh, hehehe….. :)
Semoga Allah menjadikan kita sebagai golongan orang-orang yang ikhlas, amin.
Apakah dlm menulis ini saya ikhlas? Wallahu a’lam, saya gak bisa jawab :)


Penghormatan untuk Istriku

Sebuah gagasan tentang kesetiaan
Hati kita cuma satu, mampukah kita membaginya?
Hati kita cuma satu, mampukah kita membaginya?
Lima menit berlalu, kami masih terdiam. Aku tahu pasti jika Ayu, istriku sedang marah. Dia memang tidak mengucapkan kata-kata dengan nada yang keras, namun dari intonasi dan gaya bicaranya yang tidak biasa, aku bisa memahami kalau hatinya sedang tidak berkenan atas perbuatanku. Enam bulan menikah telah membuatku paham dengan kebiasaannya, bagaimana dia senang, sedih, marah, dll. Ayu menghela nafas, tanda amarahnya telah berkurang. Kuberanikan diri untuk bicara,
”Sudah selesai, Dik?” tanyaku pelan. Dia menjawab dengan anggukan.
”Abang minta maaf, Abang tidak sengaja. Tadi malam Abang lembur mengerjakan tugas dari sekolah sehingga tadi sehabis shalat dluha Abang tertidur dan bangun ketika hujan sudah lebat, jadi tidak sempat menyelamatkan jemuran yang telah kamu cuci. Sekali lagi Abang minta maaf, biar nanti jemurannya Abang cuci kembali”. Mendengar penjelasanku amarah Ayu menjadi reda. Dia kemudian duduk mengambil posisi di hadapanku. Ini hari minggu, kami libur mengajar. Tadi setelah selesai mencuci pakaian, Ayu pergi belanja ke pasar.
Sejak menikah hingga saat ini, kami hidup dalam kesederhanaan. Rumah kami masih mengontrak, namun kami tetap bersyukur masih punya tempat untuk berteduh dari panas dan hujan. Kami memutuskan untuk menikah setelah lulus kuliah tanpa melalui proses pacaran. Persamaan kami adalah kami anti pacaran. Kami sekuat tenaga menjaga hati untuk tidak melakukan sesuatu yang belum seharusnya dilakukan, sekaligus menjaga prasangka orang lain terhadap kami. Hal inilah yang tidak dilakukan oleh muda-mudi yang sedang pacaran, mereka biasa mengumbar perasaan yang justru akan membuat hati menjadi kotor, juga membuat orang lain berprasangka atas apa yang telah mereka lakukan. Waktu itu kami belum mendapat pekerjaan, hanya kepercayaan atas rezeki dari Allah-lah yang membuat kami berani untuk menikah. Alhamdulillah, saat ini kami telah menjadi guru meski cuma guru swasta; aku di SMP sedang dia di Madrasah Aliyah. Kami sepakat untuk selalu bersama dalam berjuang menggapai cita-cita dalam segala keadaan. Aku mencintainya dan dia pun mencintaiku.
”Bang, Ayu boleh tanya?” suaranya memecah keheningan yang kembali terjadi sesaat.
”Ada apa Dik?” sahutku.
”Kenapa sih Abang tidak pernah marah sama Ayu? Ayu sendiri merasa kalau selama ini Ayu belum bisa menjadi istri yang baik, sering membuat Abang kecewa, sering marah-marah; tapi kenapa Abang selalu sabar dengan sikap Ayu yang seperti ini?”. Mendengar pertanyaan Ayu, aku terdiam. Aku jadi teringat sebuah kisah yang terjadi pada zaman Khalifah Umar bin Khottob ra. Saat itu ada seorang sahabat yang hendak melaporkan kelakuan istrinya yang kasar terhadapnya kepada Khalifah Umar. Dia ingin mendapatkan saran dari beliau dalam menghadapi istrinya. Lalu pergilah sahabat tersebut menuju rumah Khalifah Umar. Khalifah Umar bin Khottob ra. adalah seorang pemimpin umat Islam yang sangat zuhud, beliau tidak suka menumpuk harta dan lebih suka hidup sederhana. Tempat kediamannya tidak pantas disebut istana meski beliau adalah seorang kepala negara. Ketika sampai di depan rumah Khalifah Umar dia berhenti. Sahabat itu mendengar dari luar jika Khalifah Umar sedang dimarahi oleh istri beliau, sedangkan beliau hanya diam. Sahabat itu lalu berfikir, ”Kalau Khalifah Umar saja diam saat dimarahi istrinya, apa yang bisa disarankan dia untukku?”. Akhirnya dia berniat pulang dan tidak jadi meminta pendapat beliau. Selang beberapa langkah, dia dipanggil oleh Khalifah Umar,
”Wahai Fulan, engkau telah sampai di depan rumahku, mengapa engkau hendak kembali lagi?”. Mendengar pangilan Khalifah Umar, sahabat tersebut menghampiri beliau dan berkata,
”Maafkan wahai ’Amirul Mukminin, tadi aku hendak melaporkan kelakuan istriku yang kasar terhadapku. Tapi ternyata kulihat engkau diam saja ketika dimarahi istrimu, jadi kufikir apa saran yang bisa kudapat darimu?” jawab sahabat.
”Kenapa aku diam saja ketika istriku marah padaku, itu karena aku menghormatinya. Aku mengalah dan membiarkannya memarahiku karena dia telah banyak membantuku. Dia yang mengurus aku dan rumahku, mencucikan baju untukku, membuatkan roti untukku, memasak untukku, dan pekerjaan lain; sementara semua itu tidak pernah kuperintahkan padanya. Jadi sudah sepantasnya aku memuliakannya.” jelas Khalifah Umar. Sahabat itu akhirnya mengerti dan kembali kepada istrinya dengan hati yang tenang.
”Bang, kok diam?” suara Ayu membuyarkan ingatanku. Lama dia menunggu jawabanku.
”Oh iya, maaf. Bagi Abang, kamu adalah istri yang terbaik. Abang selama ini sabar dan akan selalu berusaha bersikap sabar atas sikapmu, karena Abang ingin memuliakanmu selama di dunia seperti Khalifah Umar memuliakan istrinya. Selain itu, jika nanti kita berhasil mati dalam keadaan Islam, di akhirat Abang akan mendapatkan hadiah bidadari, itu artinya Abang akan memadumu meski kamu tetap jadi istriku yang utama dan menjadi ratu dari bidadariku. Maka dari itu selama masih di dunia, Abang ingin membuatmu merasa sempurna dengan semua cintaku. Dan, Abang tidak akan menduakanmu dengan menikahi wanita lain, cukup kamu yang akan menjadi bidadariku di dunia.” Mendengar penjelasanku, Ayu tertunduk. Pelan kudengar dia terisak, setelah itu dia menghambur ke arahku. Dia berlutut dihadapanku sambil mencium tanganku. Tangisnya meledak,
”Maafkan aku, Bang….. maafkan aku.” pintanya dalam isakan.
Tanpa terasa air matakupun meleleh. Aku hanya bisa mengangguk sambil membelai rambutnya yang halus.
”Aku ingin kamu jadi bidadariku, selamanya………”
***
Special thanx 4:
AYU, maaf namamu kupinjam tanpa izin. Obrolan kita menginspirasikanku untuk menulis cerpen ini, semoga km bisa mengerti ketetapan Allah itu dan klopun tetap gag ngerti udah gag usah dipikirin, mungkin mmg blm saatnya km ngerti, ntar juga bakal dijelasin sama Allah.
FIDIA, thanks atas tashihannya, kayak kitab ajah :)

Malam Pertama

Sebuah FIKSI
Aku masih terdiam di sisi ranjang, tak tahu harus berbuat apa. Demikian pula Lia, dia duduk agak jauh di sampingku. Ini adalah pengalaman pertama bagiku satu ruangan dengan seorang gadis, ruangan yang sangat privasi. Bahagia, nervous, bingung, campur aduk jadi satu. Lima menit berlalu dalam keheningan setelah tadi kami melakukan shalat sunnah dua rakaat serta berdoa memohon kebaikan kepada Allah yang kuucapkan sambil meletakkan tanganku di atas kening Lia, wanita yang sejak tadi sore telah resmi menjadi istriku. ”Bodoh! Bukankah Lia sudah halal bagiku.” rutukku dalam hati menyadari kebodohanku yang tidak ada inisiatif mencairkan suasana yang kaku. Kuberanikan diri untuk memulai. Perlahan-lahan kupalingkan wajahku menatap ke arah Lia yang masih diam tertunduk. Aku terus menatapnya tanpa berkata apa-apa, sampai Lia merasakan dan memalingkan wajahnya ke arahku. Lama kami beradu pandang, lalu secara bersamaan kami menarik ujung bibir, tersenyum. ”Istriku benar-benar cantik.” fikirku. Lalu tiba-tiba, ”Aduh!” pekikku sambil kedua telapak tangan kututupkan pada kedua mataku. ”Ada apa, Mas?” tanya Lia cepat sambil menggeser tubuhnya ke arahku. Kini tidak ada jarak lagi diantara kami, dia duduk tepat di sampingku. Dengan lembut Lia memegang kedua tanganku lalu menariknya dari wajahku. Mataku masih tertutup. ”Ada apa sih, Mas?” Lia semakin penasaran dengan apa yang terjadi padaku. Aku membuka mata perlahan lalu mengerjap-ngerjapkannya seolah merasakan pedih di mataku, setelah itu aku memandangnya, ”Aku baru saja melihat cahaya terang yang menyilaukan mataku.” kataku. ”Ah, masak? Darimana?” tanya Lia heran dengan mimik muka yang sangat lucu, aku hampir tertawa melihatnya. ”Benar keterangan pada kitab tentang keindahan surga,” lanjutku ”Bahwa jika ada bidadari yang turun ke dunia, maka cahayanya akan menyinari seluruh isi bumi, bahkan matahari pun jadi kecil karenanya. Dan saat ini, bidadari itu ada di hadapanku, bagaimana mataku tidak silau?” kuakhiri penjelasanku dengan memberikan senyuman yang tulus untuk istriku ini. ”Ah, kau menggodaku, ya?” Lia tersipu, lalu mengepalkan jemarinya dan memukulkannya pelan ke bahuku. Kubiarkan Lia dengan ekspresinya, lalu kuraih jemari itu dan menggenggamnya erat. Perlahan kuangkat kedua kakiku ke atas ranjang dan duduk bersila berputar ke arah Lia. Lia mengikuti gerakanku, duduk di depanku tapi dengan kaki kanannya ditekuk ke samping kanan. Kedua lutut kami bertemu, sedang kedua jemari kami berpegangan erat. Sekarang aku bebas memandangi wajah istriku dengan sepuasnya.
Malam ini aku merasakan kebahagiaan yang belum pernah kurasakan sebelumnya. Sekaligus bangga, karena ini adalah kebahagiaan yang halal untuk kunikmati. Kebahagiaan yang tak kan pernah dirasakan muda-mudi yang suka mengumbar cinta yang belum saatnya. Mereka yang harus sembunyi-sembunyi dalam menikmati cinta, takut diketahui orang karena yang dilakukan bukanlah hak mereka. Padahal Allah Maha Mengetahui apa yang hamba-Nya lakukan. Mereka merasakan nikmat, tetapi hati mereka diliputi kekhawatiran atas resiko perbuatan mereka, karena perbuatan yang tidak halal. Saat malam pertama, mereka tak akan merasakan kebahagiaan spesial seperti yang kami rasakan. Tak ada yang spesial karena mereka telah terbiasa bermesraan sebelumnya. Alhamdulillah, aku bersyukur atas kebahagiaan ini, ya Rabb. Kedua mataku masih belum berpaling dari wajah Lia, wanita yang baru kuketahui namanya dua minggu yang lalu dan kulihat wajahnya empat hari setelahnya dalam acara khitbah. Kami bertemu dan menikah atas rencana kedua orang tua kami. Sekarang suasana telah cair, kini saatnya aku bicara, ”Istriku, dengarkanlah. Aku sudah mempersiapkan kata-kata ini sejak lama. Kata-kata yang telah kupersiapkan untuk wanita yang akan menjadi sahabatku selamanya, tidak hanya di dunia tapi juga di akhirat. Yang telah kupersiapkan jauh hari sebelum mengenal dirimu, karena kuyakin Allah telah menciptakan dirimu saat itu. Meski wujudmu saat ini adalah manusia, tapi kau adalah bidadari bagiku. Dan aku akan berusaha sekuat jiwa dan ragaku agar kau tetap menjadi satu-satunya ratu bidadariku nanti di surga. Sejak dulu aku selalu yakin bahwa cinta adalah sumber dari semua kebahagiaan, aku ingin memahami setiap bait makna cinta dalam hidup, dan sekarang aku butuh bantuanmu untuk memahami sekaligus menyelami dalam maknanya. Kita reguk kebahagiaan cinta bersama hingga air mata pun akan membuahkan senyum di bibir kita. Aku akan selalu melindungimu, dan tugasmu adalah mengingatkanku saat aku salah, agar langkah kita selalu berada dalam jalan yang diridhoi Allah. Kau tahu, aku sangat mencintaimu sekarang dan untuk selamanya. Kumohon kau jagalah cintaku dan aku akan menjaga cintamu. Kita akan lalui setiap rintangan hidup bersama.”. Lia diam menyimak setiap kalimat yang kusampaikan tanpa berpaling sedikitpun pandangannya dari mataku. ”Baiklah suamiku, sekarang giliranku. Aku pun sangat mencintaimu dan aku berjanji akan selalu setia padamu selama kamu setia padaku.” bibir Lia terus menari di depan indera penglihatanku. Dengan tenang aku menikmati setiap kata yang keluar dari darinya. Kalimat-kalimat yang menyejukkan hati serta menentramkan jiwaku. Dari kata-katanya, aku yakin jika Lia adalah wanita shalihah yang selama ini kuimpikan. Jawaban dari shalat hajat dan munajatku kepada Allah setiap malam. Dia berjanji patuh padaku selama aku patuh pada Allah dan sunnah Rasul. Tak henti-hentinya hatiku bertasbih dan bersyukur atas anugerah Allah telah memberikan istri seperti dia.
Malam ini adalah impian kami sejak lama. Kami sepakat menjadikan malam ini malam yang panjang. Kami membicarakan segala hal; tentang keluarga kami masing-masing, tentang rencana masa depan rumah tangga kami, tentang pendidikan, dan lain-lain. Dalam beberapa kesempatan aku menyelingi pembicaraan dengan gurauan, kami pun tertawa bersama. Lia tak mau kalah, dia pun melakukan hal yang sama. Tak ada lagi rahasia di antara kami, kami bebas mengekspresikan apa yang kami rasa dan kami fikirkan. Subhanallah. Aku jadi berfikir, betapa ruginya mereka yang menikmati cinta yang tidak halal. Merasakan kenikmatan dalam ancaman siksa Allah. Apakah batin mereka tidak tersiksa? Padahal cinta yang diridhoi Allah sungguh indah dan berpahala disisi-Nya. Aku bersyukur tidak pernah mengenal istilah berpacaran dan sejenisnya.
***
Rasulullah saw. bersabda:
خَيْرُ النِّسَاءِ الَّتِي تَسُرُّهُ إِذَا نَظَرَ وَتُطِيْعُهُ إِذَا أَمَرَ وَلاَ تُخَالِفُهُ فِي نَفْسِهَا وَلاَ مَالِهَا بِمَا يَكْرَهُ
Sebaik-baik wanita (isteri) adalah yang menyenangkan suaminya jika sang suami memandangnya, menaatinya jika sang suami memberikan perintah, dan tidak menyalahi kebaikan suaminya baik dalam urusan dirinya maupun hartanya, yang dengan melakukan hal-hal yang tidak disukai suaminya.” (HR. Nasa`i dan Ahmad)
* Untuk dua orang sahabat saya yang ingin memasuki hidup baru, semoga Allah melancarkan rencana suci kalian, amin. (^_^)


Mengembalikan Diri Pada Ikhlas

“Dan tiada mereka diperintah melainkan supaya mengabdi kepada Allah dengan tulus ikhlas, beragama yang lurus.” (QS. Al- Bayyinah; 5)
Masih segar dalam ingatan kita pasca Pemilu Legislatif bulan April yang lalu, ada seorang caleg di daerah Nusa Tenggara yang gagal menjadi anggota dewan, dia mencabuti tiang listrik yang telah disumbangkannya serta mengambil paksa gedung sekolah yang telah dihibahkannya beberapa waktu sebelum Pemilu; hanya karena dia mendapatkan suara yang sangat sedikit di daerah pemilihannya. Jelas saat dia menyumbang tiang listrik dan menghibahkan gedung sekolah, niatnya tidak ikhlas karena Allah, tapi lebih karena berharap mendapatkan simpati dari masyarakat agar memilihnya pada Pemilu Legislatif.
Pada contoh lain, ada seorang ibu yang rajin berpuasa senin kamis dengan harapan dia bisa mengurangi berat badannya sambil beribadah kepada Allah. Setelah dua bulan rutin berpuasa, ternyata tidak ada hasil. Berat badannya tetap seperti semula, akhirnya dia kecewa dan tidak mau berpuasa lagi. Seandainya ibu ini meletakkan niat beribadah kepada Allah pada urutan pertama hingga ke sepuluh dalam puasanya, tentunya ibu ini tidak perlu kecewa karena dia telah mendapatkan apa yang diniatkannya, ridlo Allah. Dan masih banyak contoh lain bahwa masyarakat kita, terutama ummat Islam, yang sudah mulai melupakan semangat ikhlas dalam hatinya ketika beramal. Harapan-harapan duniawi masih sering menguasai niat dari amal ibadahnya.
Keutamaan ikhlas dalam setiap amal
Di dalam setiap niat yang terpenting adalah ikhlas. Arti ikhlas adalah memperindah ibadah atau amal kebajikan karena Allah semata-mata dan mengharapkan keridloan-Nya. Ikhlas berarti memurnikan tujuan ber-taqarrub kepada Allah swt. dari hal-hal yang mengotorinya. Ikhlas adalah syarat diterimanya suatu amal shalih yang dilaksanakan sesuai dengan sunnah Rasulullah saw.. Allah swt. telah berfirman, “Dan tiada mereka diperintah melainkan supaya mengabdi kepada Allah dengan tulus ihklas, beragama yang lurus.” (QS. Al- Bayyinah; 5). Ayat ini menerangkan bahwa dalam beribadah kepada Allah, kita harus benar-benar melaksanakan ibadah tersebut dengan ikhlas untuk mengharap ridlo-Nya. Ibadah tidak hanya terbatas pada pada ibadah pokok (mahdloh) saja, seperti shalat, puasa, zakat, dan lain-lain; tapi juga setiap amal perbuatan baik selain ibadah pokok (ghoiru mahdloh), seperti bekerja untuk memberi nafkah keluarga, belajar agar mengerti hukum-hukum agama, dan lain-lain. Setiap amal perbuatan yang baik harus kita laksanakan dengan tulus ikhlas karena Allah.
Seorang hamba hanya akan selamat dari godaan setan dengan keikhlasan. Allah swt. berfirman, mengungkapkan pernyataan iblis, “Kecuali hamba-hambamu yag selalu ikhlas”. (QS. Shad : 83). Hati yang penuh dengan keikhlasan akan menyelamatkan diri dari tergelincir atau terpuruk karena godaan setan, karena setan dan iblis tidak akan mampu mempengaruhi orang yang ikhlas untuk ikut bersama mereka.
Ikhlas bertempat pada niat
Niat adalah titik tolak permulaan dalam segala amal perbuatan, perjuangan, dan lain-lain. Niat menjadi ukuran yang menentukan tentang baik dan buruknya suatu perkataan atau perbuatan. Fungsi dan peran niat itu sangat menentukan, sehingga sebagian ulama’ salaf menyimpulkan, “Kerapkali amal yang kecil menjadi besar karena niat yang baik, dan kerapkali pula amal yang besar menjadi kecil karena salah niatnya.”. Niat adalah dorongan yang tumbuh dalam hati manusia, yang menggerakkan untuk melaksanakan amal perbuatan atau ucapan tertentu. Kedudukan niat diterangkan dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh sayyidina Umar bin Khattab ra. beliau berkata, Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya amal perbuatan tergantung pada niat. Dan sesungguhnya tiap-tiap orang memperoleh suatu dengan niatnya. Barang siapa yang hijrah pada jalan Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya itu kepada Allah dan Rasul-Nya. Barang siapa yang hijrah karena ingin memperoleh keduniaan, atau ingin mengawini seorang wanita, maka hijrahnya itu ialah kearah yang dituju itu.” (HR. Bukhari dan Muslim). Asbabul wurud hadist ini menjelaskan dahulu ada seorang sahabat yang hijrah karena ingin menikah dengan seorang wanita dimana wanita itu mengajukan syarat hanya ingin menikah di tempat Rasulullah saw. berada (Madinah), maka sahabat tersebut bersedia hijrah. Namun kata Rasulullah saw. hijrah sahabat tadi tidak tercatat sebagai amal yang diterima karena niatnya bukan karena Allah dan Rasul-Nya.
Sangat penting membersihkan niat dari segala sesuatu yang mengotorinya dan menempatkan ikhlas pada tempat tertinggi dalam niat. Niat sendiri tempatnya di hati (qalbu) dan dilaksanakan sebelum melakukan suatu amal. Adapun setelah amal dilaksanakan kita juga harus tetap menjaga keikhlasan agar tidak dikotori oleh bisikam nafsu dan syetan. Kita sering menyebutnya dengan istilah ridlo. Contohnya seperti, ada seorang yang sedang dililit kesulitan, dia berkeyakinan bahwa hanya Allah-lah yang sanggup menyelesaikan kesulitannya. Lalu dia beribadah dengan tekun siang dan malam, berdoa tiada henti dengan ikhlas hanya untuk mendapatkan ridlo Allah, karena dia yakin jika Allah ridlo, maka kesulitannya akan teratasi. Satu bulan berlalu, namun kesulitannya tidak juga terselesaikan, dia pun ridlo atas keputusan Allah dan tetap melanjutkan amal ibadahnya, hingga suatu ketika kesulitannya terselesaikan karena pertolongan Allah. Dia bersyukur tiada henti dan tetap beribadah seperti semula. Demikianlah, dalam mengharapkan sesuatu kita harus istiqomah ikhlas, baik sebelum, saat, maupun setelah beramal.
Lawan dari ikhlas adalah riya’
Niat yang tidak ikhlas dinamakan riya’, dan riya’ termasuk salah satu penyakit rohani (qalbu) yang oleh Rasulullah saw. digolongkan kepada syirik kecil, walaupun dalam bentuk yang tidak terang-terangan. Orang yang riya’ melakukan ibadah dan amal yang baik dengan tujuan agar mendapat pujian dari orang lain serta tujuan selain Allah. Nabi saw. pernah bersabda, “Barang siapa yang shalat dengan riya’, sesungguhnya dia telah melakukan syirik, dan demikian juga barang siapa yang bersedekah dengan riya’, sesungguhnya dia telah melakukan syirik; karena Allah Azza wa Jalla berfirman (dalam hadits qudsi), ‘Aku adalah penentu terbaik bagi orang yang telah menyekutukan sesuatu pada-Ku. Amal perbuatannya yang sedikit maupun yang banyak bagi yang disekutukannya, sedangkan Aku sama sekali tidak perlu padanya’.” (HR. Ahmad). Dikatakan syirik karena oaring yang riya’ telah menempatkan niat yang seharusnya hanya ada Allah disana, akan tetapi digantikan niat agar dia dipuji oleh orang lain, disini letak syiriknya, dalam niatnya ada orang lain, bukan Allah. Orang lain diposisikan jauh lebih utama daripada Allah.
Orang yang dalam niatnya ada riya’ sangatlah merugi. Selain telah dianggap menyekutukan Allah, diapun tidak akan mendapat pahala dari apa yang dilakukan, karena riya’ telah menghanguskan amal yang telah diperbuat. Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya Allah swt. tidak menerima suatu amal, kecuali jika dikerjakan murni karena-Nya dan mengharap wajah-Nya.” (HR. Abu Dawud dan Nasa’i dengan sanad yang bagus).
Berbeda apabila orang yang beramal shalih secara terang-terangan dilihat oleh manusia, tapi niatnya supaya dicontoh oleh manusia lain, ini tidak termasuk kategori riya’, justru akan membuahkan pahala bagi orang banyak apalagi jika amal tersebut didasari oleh niat yang ikhlas.
Berhati-hati terhadap ‘ujub dalam ikhlas
Syech as-Suusiy berkata, “Ikhlas adalah tidak merasa telah berbuat ikhlas. Barang siapa masih menyaksikan keikhlasan dalam ikhlasnya, maka keikhlasannya masih membutuhkan keikhlasan lagi.”. Dalam hal ini Syech as-Suusiy ingin menjelaskan tetang membersihkan amal dari sifat ‘ujub. Merasa ikhlas dan melihat keikhlasan diri adalah ‘ujub, dan itu merupakan salah satu perusak keikhlasan. Amal yang ikhlas adalah yang bersih dari segala jenis perusak keihlasan. Orang ‘ujub merasa kagum terhadap dirinya sendiri karena telah berbuat ikhlas walaupun sebenarnya orang lain tidak tahu. Seperti itulah jika amal kita tidak didasari oleh ikhlas karena Allah. Diam dalam kesendirian dalam beramal belum tentu menjadikan kita pandai mengelola hati.
Penutup
Lebih lanjut Syech Fudlail bin ‘Iyadl berkata, “Meninggalkan suatu amal karena orang lain adalah riya’, sedangkan beramal karena orang lain adalah syirik. Adapun ikhlas adalah Allah swt. menyelamatkanmu dari keduanya.”. Ternyata demikian sulit kita harus menjaga hati agar selalu ikhlas, tidak riya’, serta tidak ‘ujub. Namun bukan berarti menjaga niat agar selalu ikhlas itu tidak mungkin. Dengan terus belajar ilmu ikhlas dan berlatih mengamalkannya deangan tekun, insyaallah kita akan mampu. Seorang yang mahir tidak terlahir langsung mahir. Tapi pasti ada proses belajar dan berlatih tanpa henti sebelumnya hingga akhirnya menjadi mahir. Mari kita senantiasa mencari ilmu tentang ikhlas dan sedikit demi sedikit berlatih mengamalkannya, demi niat yang bersih hanya mengharap ridlo Allah.
Wallahu a’lam bishshawab.