Musibah adalah realitas objektif
dimana setiap orang pasti mengalami dan merasakannya. Sementara penderitaan
adalah realitas subjektif dimana tidak setiap orang yang mendapat musibah
menjadi sedih dan merana. Kenyataannya, banyak orang yang telah berhasil
menjadi manusia terlatih dan bisa menghadapi dan melewati musibah dengan lapang
dada dan ridho.
Nasib baik (positive life event)
adalah realitas objektif dimana semua orang pasti merasakan dan menikmatinya. Sementara
bahagia, ia adalah realitas subjektif dimana tidak semua orang nasib baik. Kenyataannya,
karena nasib baik diterima dengan cara dan jalan yang jelek, dengan korupsi dan
merampas hak seseorang, maka kekayaan lalu membuat seseorang menderita. Penelitian
diAmerika menghasilkan beberapa kesimpulan bahwa semakin sukses, banyak orang
yang justru hidupnya semakin menderita.
Islam mengajarkan kebahagiaan
dari dua sisi, lahir dan batin, fiddunya hasanah dan fil-akhirat hasanah. Di Amerika,
demikian Azyumardi Azra dalam makalahnya, para konglomerat muslim banyak
menghabiskan waktunya justru di mesjid. Artinya, kesuksesan dan nasib baik yang
mereka dapatkan disikapi dengan menyeimbangkan dimensi lahiri dan batini. Jika kebahagiaan
materi tanpa diimbangi usaha untuk mendekatkan sisi rohani dengan Tuhan, maka
bahagia itu rasanya Hambar dan tak berwarna, tanpa makna.
Merapatkan diri dengan ilahi
dimesjid-nya ketika nasib tengah mujur, akan mengantarkan seorang muslim pada
sikap seimbang antara berbagai dimensi dalam kehidupannya. Diapun akan
mendapatkan keyakinan bahwa keberhasilan bukan dihasilkan oleh diri pribadi,
tapi melibatkan banyak orang disekelilingnya. Kemudian ia akan faham bahwa ia
sukses dan bahagia atas kehendak dan anugrah allah SWT. Dari titik ini ia
kemudian meyakini bahwa diberi adalah membahagiakan, tapi member adalah moment
yang paling membahagiakan (to be given is happy, and to give is the true happiness).
Kebahagian mendapatkan banyak
rezeki dari allah, juga kesenangan kerena sukses dan dilancarkan niaga tak
berarti apa-apa bila tak member efek positif bagi keluarga dan lingkungan
sekitar. Maka, makna bahagia lalu terefleksikan dengan melakukan sesuatu yang
baik, yang bisa member nilai lebih di hadapan diri pribadi, keluarga dan
masyarakat. Memberikan aneka kebaikan pada mesyarakat dengan harta, dengan
ilmu, tenaga maupun dengan sikap terpuji menjadi modal social yang mengantarkan
kita untuk saling mencintai satu dengan yang lainnya. Masyarakat yang bahagia
adalah masyarakat yang saling mencintai dan saling member nilai kebermanfaatan
diantara sesamanya.
Bahagia yang sebenarnya adalah
ekspresi dari rasa syukur yang melihat berbagai hal dengan positif. Selalu positif
dalam memahami berbagai permasalahan dan pengalaman adalah kunci bahagia yang
mahal harganya. Merasakan kegadiran allah adalah segala peristiwa yang buruk
sekalipun bisa jadi berdampak pada rasa bahagia jika kita memahaminya secara
positif. Sa;di, seorang penyair termasyhur dari Persia pernah sedih fan merana
karena sepatunya hilang dan kakinya kepanasan. Ketika masuk ke mesjid, derita
dan kesedihannya sekonyong-konyong hilang karena melihat seorang yang kehilangan
dua kakinya melewati kehadapannya dengan rona wajah yang ceria. Cerita sa’di
adalah gambaran bahwa sejelek apapun nasib dan pendapatan kita, bisa jadi ada
yang jauh lebih jelek nasibnya. Disinilah dibutuhkan mentalitas terlatih dan
tahan uji. Kebahagiaan para nabi dan rosul ada pada dimensi ketersambungan
nurani dan rohaninya pada allah, padahal bisa jadi engalaman pahitnya dialami
saban waktu. Nasib baik bisa jadi mengantarkan kita pada kebagaiaan, tapi juga
bisa jadi membuat kita tertekan dan menderita.kebahagiaan hakiki ternyata
ditentukan oleh perasaan ketersambungan dengan tujuan hidup, dengan masyarakat
dan dengan hal-hal spiritual, dengan apa saja yang bermakna. WALLAHUA’LAM.
Sumber : ASEP M TAMAM