Minggu, 15 Juli 2012

BAHAGIA YANG MEMBAHAGIAKAN



Musibah adalah realitas objektif dimana setiap orang pasti mengalami dan merasakannya. Sementara penderitaan adalah realitas subjektif dimana tidak setiap orang yang mendapat musibah menjadi sedih dan merana. Kenyataannya, banyak orang yang telah berhasil menjadi manusia terlatih dan bisa menghadapi dan melewati musibah dengan lapang dada dan ridho.
Nasib baik (positive life event) adalah realitas objektif dimana semua orang pasti merasakan dan menikmatinya. Sementara bahagia, ia adalah realitas subjektif dimana tidak semua orang nasib baik. Kenyataannya, karena nasib baik diterima dengan cara dan jalan yang jelek, dengan korupsi dan merampas hak seseorang, maka kekayaan lalu membuat seseorang menderita. Penelitian diAmerika menghasilkan beberapa kesimpulan bahwa semakin sukses, banyak orang yang justru hidupnya semakin menderita.
Islam mengajarkan kebahagiaan dari dua sisi, lahir dan batin, fiddunya hasanah dan fil-akhirat hasanah. Di Amerika, demikian Azyumardi Azra dalam makalahnya, para konglomerat muslim banyak menghabiskan waktunya justru di mesjid. Artinya, kesuksesan dan nasib baik yang mereka dapatkan disikapi dengan menyeimbangkan dimensi lahiri dan batini. Jika kebahagiaan materi tanpa diimbangi usaha untuk mendekatkan sisi rohani dengan Tuhan, maka bahagia itu rasanya Hambar dan tak berwarna, tanpa makna.
Merapatkan diri dengan ilahi dimesjid-nya ketika nasib tengah mujur, akan mengantarkan seorang muslim pada sikap seimbang antara berbagai dimensi dalam kehidupannya. Diapun akan mendapatkan keyakinan bahwa keberhasilan bukan dihasilkan oleh diri pribadi, tapi melibatkan banyak orang disekelilingnya. Kemudian ia akan faham bahwa ia sukses dan bahagia atas kehendak dan anugrah allah SWT. Dari titik ini ia kemudian meyakini bahwa diberi adalah membahagiakan, tapi member adalah moment yang paling membahagiakan (to be given is happy, and to give is the true happiness).
Kebahagian mendapatkan banyak rezeki dari allah, juga kesenangan kerena sukses dan dilancarkan niaga tak berarti apa-apa bila tak member efek positif bagi keluarga dan lingkungan sekitar. Maka, makna bahagia lalu terefleksikan dengan melakukan sesuatu yang baik, yang bisa member nilai lebih di hadapan diri pribadi, keluarga dan masyarakat. Memberikan aneka kebaikan pada mesyarakat dengan harta, dengan ilmu, tenaga maupun dengan sikap terpuji menjadi modal social yang mengantarkan kita untuk saling mencintai satu dengan yang lainnya. Masyarakat yang bahagia adalah masyarakat yang saling mencintai dan saling member nilai kebermanfaatan diantara sesamanya.
Bahagia yang sebenarnya adalah ekspresi dari rasa syukur yang melihat berbagai hal dengan positif. Selalu positif dalam memahami berbagai permasalahan dan pengalaman adalah kunci bahagia yang mahal harganya. Merasakan kegadiran allah adalah segala peristiwa yang buruk sekalipun bisa jadi berdampak pada rasa bahagia jika kita memahaminya secara positif. Sa;di, seorang penyair termasyhur dari Persia pernah sedih fan merana karena sepatunya hilang dan kakinya kepanasan. Ketika masuk ke mesjid, derita dan kesedihannya sekonyong-konyong hilang karena melihat seorang yang kehilangan dua kakinya melewati kehadapannya dengan rona wajah yang ceria. Cerita sa’di adalah gambaran bahwa sejelek apapun nasib dan pendapatan kita, bisa jadi ada yang jauh lebih jelek nasibnya. Disinilah dibutuhkan mentalitas terlatih dan tahan uji. Kebahagiaan para nabi dan rosul ada pada dimensi ketersambungan nurani dan rohaninya pada allah, padahal bisa jadi engalaman pahitnya dialami saban waktu. Nasib baik bisa jadi mengantarkan kita pada kebagaiaan, tapi juga bisa jadi membuat kita tertekan dan menderita.kebahagiaan hakiki ternyata ditentukan oleh perasaan ketersambungan dengan tujuan hidup, dengan masyarakat dan dengan hal-hal spiritual, dengan apa saja yang bermakna. WALLAHUA’LAM. 

Sumber : ASEP M TAMAM